Gue coba buat cerpen nih. Awalnya sih buat tugas Bahasa Indonesia, tapi yah lumayan buat iseng-iseng.


"Mencoba adalah suatu awal yang akan mengantarkan kepada suatu keberhasilan. Karena dengan mencoba berarti membuat 2 kemungkinan, berhasil atau gagal. Tapi tidak mencoba hanya akan membuat satu kemungkinan: FAILURE."
Well, here's the story...


***


Putih. Warna yang menggambarkan kesucian dan kelembutan. Tapi tidak bagiku. Putih adalah warna yang paling ku benci. Setiap kali aku membuka mata, yang pertama kali merasuk ke dalam mataku adalah warna putih. Dan di gedung putih tua ini pulalah aku dikurung.

Bertahun-tahun aku dikurung dalam kotak berdinding putih. Tak pernah kurasakan getaran aura yang kuat melingkupi gedung ini. Satu-satunya yang kurasakan di sini adalah perasaan menyentuh kematian serta kekosongan yang membuatku merinding. Aku benci setiap hari hanya mencium bau khas gedung ini bercampur bau darah segar. Aku benci tak ada seorang pun yang benar-benar peduli padaku. Mereka hanya tertawa di luar sana menyaksikan aku menderita di dalam gedung yang mengeluarkan bau aneh ini.

Ketika aku menerawang ke arah langit jingga dari balik jendela, aku bisa melihat seekor burung dengan sayap lebar terbentang sedang terbang menuju matahari. Aku iri melihat kebebasannya dalam menaklukan langit sore. Ia dapat terbang sesuka hatinya tanpa terhalang oleh dinding-dinding kokoh.

Andai aku adalah burung itu, aku pasti sudah terbang menyeberangi lautan. Jauh dari tempat ini.’

Aku selalu berkeinginan untuk terbang ke luar sana. Menghirup udara segar yang tak bercampur bau darah. Merasakan hembusan angin yang merupakan hembusan nafas Dewa. Melihat indahnya bintang-bintang yang berkelip dan rembulan yang tersenyum.

Aku akan melakukan apa saja, sekalipun itu menyakitkan, asalkan aku bisa terbebas dari gedung putih ini.

***

Semakin hari kondisi tubuhku semakin memburuk. Namun keinginanku untuk terbang dan terbebas dari bau gedung ini tak pernah berkurang. Justru sebaliknya. Kian hari gejolak itu kian bertambah. Hingga suatu hari aku memutuskan untuk bebas. Bagaimanapun caranya.

***

Saat bintang-bintang telah menghiasi langit gelap dan orang-orang telah meninggalkan gedung menjadi semakin sunyi, dengan hati-hati aku keluar dari kotak putih berukuran 6 x 8 meter tempatku dikurung. Kemudian aku menyusuri lorong di gedung ini hingga kutemukan sebuah perantara yang dapat membawaku terbang ke angkasa. Aku menyelinap ke sebuah ruangan tempat orang-orang berpakaian serba hijau, menyayat dan mengutak-atik isi tubuh si Pasien.

Di dekat jendela ruangan itu aku melihat pantulan sinar rembulan dari alat-alat yang mengkilap. Ku hampiri alat-alat itu dan ku temukan sebilah pisau diantara berbagai alat tajam lainnya. Aku tersenyum tipis ketika mengelus pisau itu.

“Pisau ini akan membawaku terbang kemana pun aku mau.”

Dengan senyuman di bibirku, aku meletakkan pisau itu tegak lurus dengan pergelangan tangan kiriku. Perlahan aku mulai menyayat kulit di sekitar pergelangan itu. Aku merasakan sebuah sensasi yang sebelumnya tak pernah kurasakan. Semakin dalam aku menyayat, sensasi itu semakin dahsyat. Begitu bergejolak di dalam tubuhku hingga rasanya meluap-luap.

Aku dapat mendengar aliran darahku yang mengalir. Darah segar yang berwarna merah terang membasahi lantai ruangan itu. Setelah berkali-kali ku gesekkan pisau ke pergelangan tangan kiriku, kini pisau itu kuletakkan tepat di dada kiriku. Dapat kurasakan detak jantungku yang semakin melemah.

“Gara-gara jantung lemah ini, aku tak dapat merasakan dunia luar. Aku terkurung dalam gedung putih yang memuakkan ini.”

Dengan sisa tenaga yang tersisa, ku tancapkan pisau itu dalam-dalam ke dada kiriku, hingga menembus jantung. Kurasakan sensasi yang memuncak. Begitu menakjubkan. Tetapi sensasi itu hanya sesaat, karena mataku kemudian terpejam dan segalanya menjadi gelap gulita.

***

Ketika aku membuka mata, aku sudah berada di bawah gemerlap bintang malam. Aku terpesona dengan keindahan ini. Dapat ku lihat berbagai rasi bintang yang menghiasi gelapnya langit. Setelah agak lama memandangi keajaiban malam ini, ku lirikkan mataku ke arah bawah. Aku terkejut. Ternyata aku berdiri di atas sebuah kota. Kota tempatku lahir, tempatku dikurung dan merasakan penderitaan, kota tempat gedung putih itu berada. Tapi sesungguhnya aku bukan berdiri. Aku terbang. Di langit malam.

Kini impianku telah terkabul. Aku dapat terbang dan pergi kemana pun aku mau. Aku bebas.

Tapi, kenapa aku tak sepenuhnya merasakan kegembiraan? Impianku telah tercapai, tapi sepertinya masih ada sebuah perasaan yang mengganjal di hatiku. Perasaan hampa. Kekosongan. Seperti…kesepian.

***

Setiap malam, aku berkeliaran kesana kemari untuk mencari mangsa. Mangsaku adalah orang-orang yang sedang putus asa dan memiliki hati yang lemah. Karena dengan begitu aku bisa mempengaruhi orang-orang itu dengan mudah. Aku dapat melakukan panggilan dengan membisikkan sesuatu kepada mereka. Jika hati mereka goyah, maka aku bisa menguasai tubuh mereka melalui bisikkan itu. Aku bahkan mampu menguasai mereka hingga mereka mengakhiri hidup dengan meloncat dari atap gedung.

Hanya saja, manusia lainnya memusuhiku. Banyak manusia yang ingin mengusirku pergi dari dunia ini. Padahal aku hanya ingin berada di dunia ini, dunia yang dulu hanya dapat kulihat dari balik jendela gedung berwarna putih itu.

Kini aku memang telah menjadi roh, tetapi dulu aku juga seorang manusia yang memiliki perasaan. Perasaan itu masih tersisa dalam hatiku.

“Yang ku inginkan hanyalah seorang teman.”

0 comments: